Kabar duka masih menyelimuti bumi Denanyar. Kepergian KH Ahmad Wazir Ali membuat kami, para santri, merasa kehilangan yang begitu dalam, seakan dunia berhenti sejenak. Sejuta kenangan masih terekam jelas. Nasihat-nasihat beliau, keteladanan dalam khidmah, dan semangat belajar yang tak pernah padam. Dalam tulisan sederhana ini, saya ingin berbagi secuil dari kenangan itu, sebagai pengingat atas perjuangan beliau yang tak kenal lelah dalam mengabdi kepada ilmu.
Kegigihan dan Semangat Seorang Pejuang Ilmu
Kiai Wazir Ali adalah sosok pejuang sejati. Siapa pun yang pernah berjumpa atau diajar langsung oleh beliau, pasti akan merasakan satu hal yang sama: semangat pengabdian beliau terhadap ilmu dan santri yang begitu totalitas. Beliau adalah pribadi yang sangat bertanggung jawab atas amanah keilmuan. Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah beliau absen dari tugas mengajar. Kalaupun ada uzur yang benar-benar darurat, beliau pasti akan meminta izin secara langsung dan menitipkan tugas kepada santri. Tanggung jawabnya sebagai guru tak pernah beliau abaikan.
Komitmen Kiai Wazir terhadap ilmu tidak hanya terlihat dalam aktivitas mengajar, tapi juga dalam semangat terus belajar. Suatu ketika, beliau bercerita tentang awal mula diamanahi menjadi pimpinan di LBAI (Lembaga Bahasa Arab Inggris). Saat itu, beliau merasa kemampuan Bahasa Inggrisnya belum cukup. Maka dengan tekad kuat, beliau belajar dan mengikuti les Bahasa Inggris ke Pare. Yang luar biasa: Perjalanan Denanyar–Pare Kediri beliau tempuh dengan sepeda ontel, di tengah jadwal mengajar yang sangat padat dan melelahkan di pondok.
“Yo aku pas karo sepedahan mangkat ndek Pare karo nglalar opo seng diajarke ndek Pare, yo karo nglalar opo seng ape tak ngaji ndek pondok,” dawuh beliau.
Kegigihan Kiai bukan hanya saat muda saja. Bahkan di usia senja pun semangat beliau tak pernah surut. Saya masih ingat betul, ketika ziarah ke makam Imam Jalaluddin as-Suyuthi, beliau dawuh dengan penuh kerendahan hati:
“Aku iki ora apal Al-Qur’an, tapi aku saiki lagi ngapalke pelan-pelan. Sambil ngapalke aku nulis tafsir ayat-ayat Al-Qur’an mulai teko Al-Fatihah, seng biasane tak kirim ndek Alek -nama panggilan ke saya-”
Kenangan lain yang tak kalah membekas adalah ketika saya ikut mendampingi beliau ziarah ke makam Syekh Abu Hasan asy-Syadzuli di Humaisaro. Selama perjalanan, beliau berkisah dengan hangat tentang masa-masa awal saat pertama kali datang ke Denanyar, setelah dipanggil Kiai Sahal Mahfudz untuk dinikahkan. Di sela-sela cerita itu, beliau menyampaikan dawuh yang sampai hari ini masih sangat menancap dalam hatiku:
“Lekk, aku lek arep mulang ngaji wajib mutolaah ndisek, masio kitab seng tak ulang aku wes paham, wes sering khatam. Mulai teko kitab dasar, Jurumiyah panggah tak mutolaah saben arep mulang ngaji. Soale saben awakmu moco maneh iku mesti ono ilmu anyar seng sedurunge awakmu ora ngerti. Awakmu mbesok lek wes muleh, ojo nganti isin lan wegah lek dikon marai wong ngaji kitab-kitab cilik, dikon marai ngaji Qur’an.”
Ibu Nyai Halimah yang juga mendengar, langsung menimpali:
“Iyo lekk, ayah iku ket ndisek sampek saiki saben arep ngaji mesti sinau disek, masio arep ngaji Jurumiyah. Awakmu sok yo kudu ngene lekkk, ojo isin-isin kon mulang kitab cilik.”
Kalimat-kalimat sederhana itu terasa seperti wasiat. Pesan yang beliau wariskan jelas dan dalam: Setinggi apa pun ngaji kita, jangan pernah gengsi untuk mengajar Al-Qur’an dan kitab-kitab dasar. Karena di sanalah keberkahan ilmu tumbuh. Di situlah kesungguhan diuji. Dan di situlah hakikat pengabdian seorang santri benar-benar dibuktikan.
Sosok Kiai yang Produktif
Selain dikenal gigih dalam mengajar dan mengaji, Kiai Wazir juga merupakan sosok ulama yang sangat produktif dalam menulis. Di tengah kesibukannya yang luar biasa, beliau tetap mencuri waktu untuk menulis, kadang malam hari, kadang di sela perjalanan, bahkan saat sedang dalam kondisi fisik yang tidak prima.
Beliau menulis dalam dua bahasa: Arab dan Indonesia. Karya-karyanya mencakup berbagai bidang, mulai dari fikih, tasawuf, manasik haji, hingga buku ilmu alat yang memudahkan para santri. Beberapa karya beliau yang saya ketahui antara lain:
Fiqih Haji, Risalah Manasik (Terjemah dari Tuhfah at-Thullab Bab Haji)
Problematika Manasik Haji dan Umrah
Fiqih Haji dan Umrah Empat Mazhab
Tasawuf Haji
Fiqih Haji Perempuan
Manasik Lansia dan Risti
Catatan Perjalanan Ziarah Auliya Mesir
Secercah Cahaya Qur’ani
Pengobatan dengan Al-Qur’an (Terjemah ‘Ālij Nafsaka bil-Qur’an)
Doa dan Dzikir: Kumpulan Amaliyah Ijazah Esensial
Wirid Amaliyah Santri
Karya-karya yang berbahasa Arab:
Al-Ājurrūmiyyah fī Tsaubiha al-Jadīd
‘Amaliyyatu at-Tahlīl wa Ḥujjiyyatuhā
Aṣ-Ṣarf al-Muyassar
Saya menyaksikan sendiri bagaimana beliau memanfaatkan setiap waktu senggang untuk menulis. Saat nderek beliau ziarah ke Mesir, beliau selalu mencatat manaqib singkat ulama-ulama yang diziarahi. Yang membuat hati terenyuh adalah, meski usia beliau sudah tidak muda dan kondisi fisik tak lagi sekuat dulu, beliau tetap tekun mengetik satu per satu kata di ponsel, perlahan tapi penuh semangat. Lalu beberapa minggu setelah pulang dari Mesir, saya menerima pesan dari beliau:
“Lekk, buku berisi biografi ringan ulama aulia top mesir, Tlng share grupmu!.”
Tidak hanya itu, beliau juga sering menghubungi saya untuk minta dibelikan kitab dari Mesir, sebagai bahan tulisan. Saya masih ingat betul, suatu ketika beliau tiba-tiba video call dalam keadaan terbaring lemah di atas kasur. Tak lama kemudian, beliau mengirimkan pesan dan file PDF:
“Lekk -setelah Beliau mengirim pdf kitab- iki wes tak terjemah, tak tambahi kosa kata berbasis tasrif, lengkap, mudah, simple, barusan selesai wingi, diedit Iqbal Pekalongan, tak gabungno pengembangan kosakata sekitar 500-an kata kerja. Yen Jurumiyah sekitar 500 kosakata benda. Ono sing Nahwu Muyassar didownload gak kenek, golekno pisan, nanti tak transfer. Wes ono konsep Imrithi bertabel, tapi masih perlu disempurnakan. Contoh yang ada di Nahwu Muyassar iki. Ben gampang belajar nahwu shorof kanggo arek pondok, suwun.”
Padahal saat itu, beliau sedang sakit-sakitan. Tapi yang keluar dari lisan dan pikirannya bukan keluhan, melainkan kegelisahan ilmiah dan kepedulian terhadap kemudahan belajar para santri. Yang paling membuat saya tak kuasa menahan air mata adalah kalimat penutupnya:
“…Ben gampang belajar nahwu shorof kanggo arek pondok, suwun.”
Kalimat itu sederhana, tapi bagi saya, itulah suara hati sosok pejuang ilmu. Di antara rasa sakit, beliau tetap berpikir: bagaimana caranya agar para santri bisa lebih mudah memahami ilmu. Itulah Kiai Wazir, alim yang tak hanya menanam, tapi juga menyiram dan menjaga ilmu, hingga napas terakhirnya.
Jejak yang Tak Pernah Padam
Kiai Wazir bukan hanya seorang guru. Beliau adalah lentera di tengah gelap, teladan di tengah kelalaian. Dalam diamnya hari ini, cahaya perjuangan beliau terus menyala dalam setiap huruf yang beliau tulis, dan dalam setiap ilmu yang beliau ajarkan.
Kepergian beliau bukan akhir, melainkan permulaan dari tanggung jawab kita untuk melanjutkan semangatnya: khidmah kepada ilmu, istikamah dalam ngaji, dan rendah hati dalam perjuangan. Semoga Allah menerangi kubur beliau dengan cahaya ilmu yang tak pernah padam, dan menumbuhkan dari jasa-jasanya ribuan benih kebaikan yang terus berbuah.
Penulis: Moh. Alaikas Salam
(Alumnus PP.Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang, Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo Mesir)