Press ESC to close

Raih Cumlaude, Kiai Muda Jember Pertahankan Disertasi tentang Pernikahan Lintas Mazhab di UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 3 Juli 2025 – Sebuah prestasi akademik membanggakan kembali hadir dari dunia pendidikan tinggi Islam Indonesia. Dr. H. Fauzinuddin Faiz, M.A., dosen Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, secara resmi meraih gelar doktor dari Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan predikat cumlaude. Ia berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Pernikahan Lintas Aliran Sunni–Syiah di Bondowoso: Tafsir Keagamaan, Dinamika Sosial, Peran Institusi Agama dan Negara” di hadapan para profesor penguji yang merupakan pakar dalam bidang hukum Islam dan sosiologi agama.

Namun yang menjadikan momen ini istimewa bukan hanya karena gelar akademik yang diraih, tetapi juga karena latar belakang dan pendekatan unik yang diusung oleh promovendus. Dr. Fauzinuddin bukan sekadar seorang dosen atau peneliti, tetapi juga seorang kiai muda Jember yang telah mengenyam pendidikan di tiga model pesantren dengan corak yang berbeda—yakni pesantren salaf murni, pesantren terpadu, dan pesantren modern. Ketika diwawancarai usai sidang promosi doktoralnya, ia mengatakan, 

“Pengalaman lintas tradisi pesantren itu bukan hanya membentuk cara berpikir saya, tetapi juga menanamkan kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman. Dari sanalah saya mulai tertarik meneliti dinamika perbedaan mazhab yang selama ini dianggap rumit, bahkan sensitif,” jelasnya (09/07/2025).

Penelitian disertasinya menyoroti praktik pernikahan antara penganut Sunni dan Syiah di Bondowoso, sebuah tema yang diakui cukup kontroversial. Dalam banyak diskursus fikih klasik, pernikahan semacam itu dianggap bermasalah, bahkan tidak sah. Namun temuan lapangan justru sebaliknya. Di tengah masyarakat, praktik pernikahan lintas mazhab ini berlangsung dengan tenang dan diterima secara sosial, bahkan berfungsi sebagai sarana rekonsiliasi intra-agama. Dalam pandangan Dr. Fauzinuddin, masyarakat secara sadar melakukan penyesuaian terhadap teks fikih tanpa bermaksud menentangnya, melainkan dengan semangat menjunjung nilai-nilai universal Islam seperti rahmah, maslahah, dan 'adalah.

Disertasi ini dibangun di atas tiga fondasi teori besar yang saling memperkuat. Ia mengadopsi teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons untuk menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga sosial seperti KUA, Pengadilan Agama, MUI, dan FKUB memainkan peran integratif dalam kehidupan masyarakat. Dalam temuannya, lembaga-lembaga ini tidak sekadar menjalankan prosedur hukum, tetapi juga menjadi jembatan rekonsiliasi sosial yang menjaga keteraturan komunitas Muslim di Bondowoso. Pernikahan lintas mazhab, yang sering dipandang sebagai ancaman terhadap kesatuan, justru menjadi mekanisme stabilitas sosial dan ruang pertemuan dua tradisi keagamaan.

Lebih jauh, ia memanfaatkan teori konflik fungsional dari Lewis A. Coser untuk membingkai perbedaan antara Sunni dan Syiah bukan sebagai ancaman disintegrasi, tetapi sebagai peluang dialog. Konflik dalam hal ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dilembagakan. Dalam wawancaranya, ia menjelaskan, 

“Konflik tidak selalu buruk. Dalam kasus Bondowoso, konflik mazhab tidak dibiarkan liar. Ia dikelola dalam institusi keluarga melalui pernikahan, sehingga menjadi ruang perjumpaan dan negosiasi nilai. Justru dari situ muncul bentuk solidaritas baru yang sebelumnya tidak ada.”

Untuk membangun fondasi pemikiran hukum, ia menggunakan pendekatan tafsir kontekstual dari Abdullah Saeed yang membedakan antara teks universal dan teks kontekstual dalam Islam. Berdasarkan temuannya, masyarakat di Bondowoso tidak serta-merta menolak fikih klasik, melainkan menyesuaikannya dengan realitas sosial dan kebutuhan lokal. Penafsiran keagamaan dalam konteks ini tidak eksklusif milik ulama atau lembaga negara, melainkan bisa diartikulasikan oleh masyarakat sendiri yang menjadi pelaku langsung kehidupan beragama. 

“Saya melihat ada tafsir yang tidak ditulis dalam kitab, tapi nyata dalam perilaku masyarakat. Itu bukan bid’ah atau penyimpangan, tapi bentuk hidupnya agama dalam ruang sosial,” ungkapnya penuh refleksi.

Ketiga pendekatan teori ini—Parsons, Coser, dan Saeed—membentuk bangunan epistemik yang kuat dan saling mendukung. Melalui struktur, keteraturan sosial dijaga; melalui konflik, ruang perubahan dibuka; dan melalui tafsir sosial, fleksibilitas hukum Islam bisa dijalankan secara dinamis.

Predikat cumlaude yang diraih Dr. Fauzinuddin bukan sekadar pengakuan formal, tetapi merupakan hasil dari konsistensi dan ketekunan akademik. Ia mencatatkan IPK 3,92, berhasil mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi Scopus Q1 serta jurnal nasional terakreditasi SINTA 1 (Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam), dan memperoleh nilai A dari seluruh anggota dewan penguji. Sidang promosi terbuka yang dihadiri oleh keluarga, kolega, dan sivitas akademika berlangsung khidmat dan penuh apresiasi. Promotor disertasi, Prof. Dr. H. Ali Sodiqin, M.Ag., dalam sambutannya menyebutkan bahwa disertasi ini merupakan terobosan dalam kajian fikih kontemporer karena menyatukan kajian teks dan realitas. 

“Dr. Fauzinuddin berhasil menunjukkan bahwa hukum Islam bukan sekadar teks yang diproduksi di atas meja, tetapi tafsir yang hidup dalam masyarakat. Ini adalah kontribusi penting dalam diskursus keislaman yang kontekstual,” ujarnya.

Dalam bagian akhir pidatonya, Dr. Fauzinuddin menyampaikan bahwa pencapaian ini adalah buah dari proses panjang riset, perenungan, dan pengalaman. Ia mengatakan,

 “Saya ingin memperlihatkan bahwa hukum Islam tidak hanya hidup di ruang akademik, tetapi juga berdenyut di tengah masyarakat. Mereka punya cara sendiri dalam menafsirkan, mempraktikkan, dan merawat Islam dengan penuh kearifan lokal. Di situlah kita harus belajar.”

Disertasi ini bukan hanya menyoroti isu sensitif dalam kajian hukum keluarga Islam, tetapi juga menyuarakan pentingnya rekonsiliasi intra-agama dalam konteks Indonesia yang majemuk. Dari Bondowoso, suara harmoni antara Sunni dan Syiah digaungkan melalui pendekatan ilmiah yang empatik dan terbuka. Dr. Fauzinuddin Faiz berhasil membuktikan bahwa fikih bukan teks mati, melainkan ruang hidup yang terus berkembang dan dibentuk oleh zaman serta masyarakat yang menghidupinya.

Wildan Miftahussurur

Wildan Miftahussurur adalah alumnus mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember sekaligus mahasiswa pascasarjana IAI At Taqwa Bondowoso saat ini. Aktif di dunia akademik dan keagamaan, ia menjadi bagian dari tim editorial Indonesian Journal of Islamic Law serta terlibat dalam berbagai kegiatan Nahdlatul Ulama di Jawa Timur. Wildan dikenal sebagai penulis muda yang konsisten menyuarakan gagasan

[Pesantren ID]hadir untuk berbagi pengetahuan dan cerita seputar pesantren dan keislaman melalui artikel, video, dan infografis yang kami produksi secara rutin. Semua ini terwujud berkat kerja keras jaringan penulis dan editor yang berdedikasi, namun untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan karya ini, kami memerlukan dukunganmu. Dengan menyisihkan sedikit rezeki, kamu ikut membantu pengelolaan platform sehingga pengetahuan tentang pesantren dan nilai-nilai keislaman dapat terus tersebar luas dan memberi manfaat.

Donasi QR Code

(Klik pada gambar)

QR Code Besar

Related Posts

Kiai Imam Hartoyo: Pemimpin Fatayat Harus Kober, Pinter, dan Bener
Banser Kabupaten Madiun Siaga Satu: Teguhkan Komitmen Jaga Kyai dan NKRI
Pascasarjana UIN KHAS Jember Dorong Dialog Global Peradaban, Fiqh Keluarga dalam Lanskap SDGs
Kasus Trans7 Jadi Pelajaran, Gus Fayyadl Sarankan Pembatasan Kamera Di Ruang Pribadi Kiai Dan Stop Selebrifikasi Kiai

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram
Pengalaman Anda di situs ini akan menjadi lebih baik dengan mengaktifkan cookies.