Agama itu bukan hanya soal keyakinan. Ia hidup, bergerak, dan sering kali berbelok dari doktrin yang dibacakan dari mimbar ke praktik yang dijalani di lorong-lorong kehidupan. Kalau kita mau jujur, Islam yang kita jalani sehari-hari mungkin tak sepenuhnya seperti yang tertulis dalam kitab-kitab tebal. Dan itulah mengapa pendekatan antropologi Islam menjadi sangat penting hari ini.
Selama ini, kita terlalu terlatih membaca Islam dari atas: dari teks ke tindakan, dari ulama ke umat, dari masa lalu ke masa kini. Tapi jarang sekali kita melihat sebaliknya, dari bawah ke atas, dari laku ke wacana, dari ambiguitas ke ortodoksi. Inilah yang dibicarakan oleh Prof. Ismail Fajrie Alatas dalam kuliah daring bertajuk Antropologi Islam pada forum Online Summer Course: Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang diselenggarakan oleh PCINU Amerika Serikat dan Kanada pada 31 Juli 2025.
Table of contents [Show]
Geertz, Gellner, Asad, dan Islam yang Dipraktikkan
Dalam upaya memahami Islam sebagai realitas sosial, Clifford Geertz menjadi salah satu pelopor penting yang memperkenalkan pendekatan simbolik. Dalam studinya yang terkenal tentang Islam di Jawa, Geertz menggambarkan agama sebagai sebuah “sistem makna”, yakni kumpulan simbol dan ritus yang memberi bentuk pada cara manusia memandang hidup, Tuhan, dan komunitas. Islam, bagi Geertz, tidak berbeda dengan kebudayaan lainnya. Ia adalah semacam panggung besar tempat umatnya memainkan nilai-nilai dan keyakinan, sehingga agama pun tampil sebagai teater simbolik yang memengaruhi cara kita bergerak, berpikir, dan merasa dalam kehidupan sehari-hari (Lihat Geertz, C. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (Vol. 37). University of Chicago press, 1971.)
Ernest Gellner, tokoh lain dalam jajaran pemikir awal antropologi agama, mengambil pendekatan yang lebih struktural. Dalam karyanya tentang masyarakat Muslim, Gellner melihat Islam sebagai kerangka institusional yang koheren dan stabil. Islam diposisikan sebagai cetak biru sosial yang berfungsi menjaga keteraturan masyarakat, menengahi konflik antar kelompok, serta menjadi bahasa umum dalam proses adaptasi budaya dan sosial. Ia memandang Islam lebih sebagai institusi normatif yang meredam gesekan sosial daripada sebagai ekspresi simbolik individual. Dengan kata lain, Gellner memusatkan perhatian pada kekuatan Islam sebagai struktur sosial yang memungkinkan masyarakat tetap berjalan dalam kerangka yang dapat diprediksi dan diatur (Lihat Gellner, E. Muslim Society. Cambridge University Press, 1983)
Namun pendekatan Geertz dan Gellner kemudian dikritik dan ditantang secara serius oleh Talal Asad. Bagi Asad, ada kelemahan mendasar dalam cara mereka membaca agama. Ia menilai bahwa Geertz terlalu menekankan makna tanpa mempertanyakan siapa yang punya kuasa untuk menciptakan dan mempertahankan makna itu, sementara Gellner dianggap terlalu cepat menyederhanakan keragaman praktik Islam ke dalam tipologi institusional yang kaku. Asad berargumen bahwa agama bukan hanya hasil dari sistem simbol atau struktur sosial, melainkan produk dari relasi kuasa yang bekerja melalui tubuh, indera, dan pengulangan praktik.
Ia mencontohkan bahwa seorang anak Muslim tidak serta-merta merasa jijik pada daging babi hanya karena membaca ayat yang melarangnya, tetapi karena sejak kecil tubuhnya telah dibentuk melalui pengawasan, pendidikan, dan pengulangan ritual untuk merasakan simbol itu sebagai najis. Inilah yang oleh Asad disebut sebagai praktik disipliner, yakni serangkaian proses sosial dan material yang membentuk sensorium umat beragama. Otoritas agama, dalam pandangan ini, tidak hanya berbicara melalui teks, tetapi juga melalui tubuh, melalui wudu, salat, suara azan, hingga cara memegang mushaf. Semua itu bukan sekadar simbol, tetapi sumber sensasi, pengalaman, dan kekuasaan yang dijalani sehari-hari oleh umat (Lihat Asad, T. Anthropological Conceptions of Religion: Reflections on Geertz. Man, 237–259. 1983).
Tradisi, Disiplin, dan Ambiguitas
Talal Asad menawarkan perspektif baru dalam memahami tradisi keagamaan. Ia tidak memandang tradisi sebagai sekadar tumpukan kebiasaan lama yang diwariskan begitu saja tanpa pemaknaan, melainkan sebagai jaringan wacana normatif yang terus bergerak dan diperbarui melalui interaksi sosial, relasi kuasa, serta dinamika kehidupan umat. Dalam kerangka ini, tradisi bukanlah entitas yang beku atau final, melainkan sesuatu yang hidup dan terus dinegosiasikan. Ia dapat ditafsirkan ulang, dipertanyakan, dan bahkan ditinggalkan, tergantung pada konteks ruang, waktu, serta pengalaman umat yang menghidupinya. Ketika seorang Muslim membaca hadis, menghubungkannya dengan tafsir ulama, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, ia sedang menjalani proses menjadi bagian dari tradisi. Tradisi tidak hanya beroperasi pada level ide dan intelektual, tetapi juga menyentuh tubuh, perasaan, dan kesadaran.
Pengaruh pemikiran Asad terlihat dalam berbagai karya yang menekankan pentingnya tubuh, pengalaman, dan dimensi praksis dalam membentuk keberagamaan. Di antaranya adalah Muslims through Discourse yang ditulis oleh Bowen, Politics of Piety yang ditulis oleh Mahmood, The Ethical Soundscape yang ditulis oleh Hirschkind, Questioning Secularism yang ditulis oleh Agrama, dan What is Religious Authority? Yang ditulis oleh Alatas. Kelima karya ini menunjukkan bahwa keberagamaan tidak sekadar dibentuk oleh teks atau dogma, melainkan juga melalui praktik sehari-hari yang membentuk kepekaan moral dan arah hidup secara menubuh. Proses disipliner seperti salat, wudu, mendengarkan ceramah, membaca ayat suci, serta cara berbicara, bergerak, dan merasakan, menciptakan sensibilitas tertentu yang membuat wacana normatif tidak lagi hadir sebagai paksaan, melainkan sebagai orientasi yang telah melekat dalam diri.
Dalam percakapan keilmuan yang lebih luas, gagasan Shahab Ahmed dan Thomas Bauer memberi kontribusi penting terhadap pembacaan ulang tradisi dan keberagamaan. Shahab Ahmed menekankan bahwa sejarah Islam, khususnya dalam periode pra-modern, tidak dibangun di atas prinsip keseragaman hukum. Ia justru menemukan bahwa Islam tumbuh dan berkembang dalam lanskap yang dipenuhi oleh kontradiksi, ambiguitas, dan pluralitas tafsir. Menurutnya, keberagamaan tidak selalu hadir dalam batas-batas kaku antara halal dan haram, atau iman dan kufur, tetapi sering kali berada dalam ruang antara yang membuka kemungkinan makna dan kelapangan ekspresi spiritual (Lihat Ahmed, S. (2016). What Is Islam?: The Importance of Being Islamic. Princeton University Press. https://doi.org/10.1515/9781400873586)
Thomas Bauer melanjutkan argumen ini dengan menunjukkan bahwa modernitas, melalui proyek rasionalisasi dan penyederhanaan, telah mendorong hilangnya ambiguitas. Dunia modern menuntut kepastian, mengajak untuk memilih satu posisi, dan menolak keraguan. Padahal, kekuatan Islam dalam sejarah justru terletak pada kemampuannya menerima keragaman, merawat ambivalensi, dan menjaga ruang tafsir tetap terbuka (Lihat Bauer, T. A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam (H. Biesterfeldt & T. Tunstall, Trans.; p. 336 Pages). Columbia University Press, 2021.)
Dengan membaca ulang tradisi melalui kerangka yang ditawarkan Asad dan diperluas oleh para pemikir sesudahnya, kita diajak untuk memahami bahwa Islam bukan semata sistem ajaran yang turun dari atas secara utuh dan final. Islam adalah pengalaman yang dijalani dan dimaknai dari bawah, melalui tubuh, indera, emosi, serta lingkungan sosial yang terus berubah. Ia adalah sesuatu yang terus dibentuk dan diperbarui, bukan hanya dari apa yang diyakini secara teologis, tetapi dari bagaimana ia dijalani secara sadar dalam keseharian yang nyata dan menubuh.
Islam Bukan Monolog, Tapi Dialog
Dalam kerangka ini, antropologi Islam menawarkan cara pandang yang tidak hanya mengamati apa yang dikatakan agama, tetapi juga bagaimana ia dijalani, disesuaikan, dan dirasakan oleh umatnya dalam kehidupan nyata. Islam hadir bukan sebagai suara tunggal dari teks-teks suci atau otoritas keagamaan semata, tetapi sebagai percakapan yang hidup antara masa lalu dan masa kini, antara doktrin dan praktik, antara struktur dan pengalaman. Di era digital, percakapan ini semakin kompleks. Suara-suara baru bermunculan, otoritas diredefinisi, dan makna-makna keagamaan diproduksi secara beragam, sering kali dalam format yang singkat, visual, dan viral.
Namun justru di tengah keragaman inilah Islam menemukan vitalitasnya. Bukan dengan menghapus ambiguitas, tetapi dengan merangkulnya. Bukan dengan menutup tafsir, tetapi dengan membuka ruang untuk dialog yang lebih luas dan setara. Jika dulu makna-makna keislaman dipertahankan melalui pengulangan ritus dan penguasaan teks, hari ini ia juga dijaga melalui partisipasi, interaksi, dan kreativitas umat yang berupaya menyesuaikan nilai-nilai agamanya dengan dunia yang terus berubah.
Islam, dalam pengertian ini, bukanlah monolog yang menuntut kepatuhan satu arah. Ia adalah dialog yang terus berlangsung, yang melibatkan tubuh dan ruang, perasaan dan teknologi, sejarah dan harapan. Selama dialog ini terus hidup, selama umat terus menegosiasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, maka Islam akan tetap tumbuh dan menyala, bukan hanya sebagai warisan yang diingat, tetapi sebagai pengalaman yang dijalani dan terus diperbarui.
Referensi:
Agrama, H. A. (2019). Questioning Secularism: Islam, Sovereignty, and the Rule of Law in Modern Egypt. University of Chicago Press.
Ahmed, S. (2016). What Is Islam?: The Importance of Being Islamic. Princeton University Press. https://doi.org/10.1515/9781400873586
Alatas, I. F. (2021). What is Religious Authority?: Cultivating Islamic Communities in Indonesia.
Asad, T. (1983). Anthropological Conceptions of Religion: Reflections on Geertz. Man, 237–259.
Bauer, T. (2021). A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam (H. Biesterfeldt & T. Tunstall, Trans.; p. 336 Pages). Columbia University Press.
Bowen, J. R. (2020). Muslims Through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society.
Geertz, C. (1971). Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (Vol. 37). University of Chicago press.
Gellner, E. (1983). Muslim Society. Cambridge University Press.
Hirschkind, C. (2006). The Ethical Soundscape: Cassette Sermons and Islamic Counterpublics. Columbia University Press.
Mahmood, S. (2011). Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton University Press.