Viralnya peristiwa seorang kepala sekolah yang menampar siswanya karena merokok di lingkungan sekolah memperlihatkan dua penyakit sosial sekaligus: merosotnya disiplin murid dan cepatnya publik menghakimi guru. Satu sisi yang salah sudah jelas—seorang siswa melanggar aturan moral dan hukum sekolah—namun yang disorot justru guru yang menegur keras. Kita hidup di masa di mana tindakan mendidik bisa dihukum, dan kesalahan bisa dilindungi dengan kata “hak anak”.
Dalam tradisi pendidikan Islam, guru bukan sekadar pengajar, tetapi murabbi—pembentuk jiwa dan moral. Imam al-Ghazali menulis, “Guru ibarat dokter hati; ia harus tahu kapan menegur dengan lembut dan kapan harus bertindak tegas.” Ketegasan tidak sama dengan kekerasan, sebagaimana kasih sayang tidak identik dengan kelemahan. Guru yang membiarkan murid berbuat salah sesungguhnya sedang menelantarkan masa depannya.
KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim mengingatkan, ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab, dan adab tidak akan hidup tanpa wibawa guru. Wibawa itu kini digerus oleh budaya digital yang menilai semua hal dari potongan video dan komentar cepat. Publik lupa bahwa sebelum video direkam, ada konteks panjang: pelanggaran, peringatan, dan rasa tanggung jawab seorang guru yang jujur ingin memperbaiki anak didiknya.
KH. Sahal Mahfudh pernah mengatakan, “Ketegasan adalah kasih sayang yang berpikir jauh.” Dalam arti, guru yang berani menegur keras berarti sedang menyelamatkan muridnya dari kebiasaan buruk yang kelak bisa menghancurkan hidupnya. Bila setiap tindakan disiplin langsung diviralkan dan digugat, maka tidak ada lagi ruang bagi guru untuk mendidik dengan penuh tanggung jawab.
Yang perlu dikoreksi bukan keberanian guru, tetapi kultur masyarakat yang gemar membela kesalahan. Murid yang merokok di sekolah telah melanggar aturan dan etika; membelanya hanya akan menanamkan pesan bahwa pelanggaran bisa lolos dengan simpati publik. Pendidikan akan runtuh bila kebenaran ditentukan oleh trending topic, bukan oleh nilai moral.
Guru berhak dihormati bukan karena ia sempurna, tetapi karena darinya mengalir ilmu, adab, dan arah hidup. Ketika seorang guru ditekan karena menegakkan disiplin, bangsa ini sedang kehilangan cermin jiwanya sendiri. Tugas kita bukan menghukum tangan guru, melainkan memulihkan marwahnya—sebab tanpa wibawa guru, tidak ada masa depan yang beradab.