Goeroe Ordonatie. Ini aturan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menyasar komunitas santri. Terbit pada 1905, seiring dengan pemberian politik etis di bidang pendidikan bagi kalangan priyayi, justru ruang gerak kiai dan guru pondok dibatasi. Khas politik belah bambu ala Belanda.
Melalui Ordonansi 1905, setiap guru agama (kiai) wajib meminta dan mendapatkan izin mengajar dari pemerintah kolonial. Kiai juga wajib menyerahkan daftar murid, materi ajar, hingga membiarkan rumahnya diperiksa.
Mengekang? Tentu. Kontrol? Pasti.
Ketika para kiai pesantren mulai bergabung Sarekat Islam, intelijen Belanda mulai menyusup di pondok. Sejak pertengahan era 1910-an, anggota PID, dinas telik sandi Londo hilir mudik nyusup, nyamar jadi santri. Kalau dianggap membahayakan langsung dicokok (cek di buku "Guruku Orang-Orang dari Pesantren" karya KH. Saifuddin Zuhri). Toh pesantren tradisional masih bertahan. Beberapa pondok yang kemudian meraksasa, berdiri di dekade ini, seperti Lirboyo Kediri (1910) dan Denanyar Jombang (1917). Belum ada nama resmi, hanya identitas desa yang melekat, sebagaimana ciri khas pesantren lain.
Ordonasi Kedua terbit pada 1925. Isinya, tak semua guru agama, termasuk kiai, boleh mengajar materi keislaman. Gelombang protes dilayangkan, antara lain oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. NU, mana? Belum terbentuk gaes! Tapi para kiai yang kelak mendirikan NU sudah bersiasat dalam mengorganisir sistem. Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan Madrasah Salafiyah, unit lembaga di Tebuireng, 1919, yang dipasrahkan ke menantunya, KH Ma'shum Aly, seorang Faqih-allamah-ahli falak penyusun Amsilatut Tasrifiyyah yang legendaris itu.
Masih melalui aturan Ordonansi 1925 di atas, kali ini kiai dan guru agama wajib lapor. Peraturan sudah dibikin, tapi kalangan penggerak pendidikan Islam masih kokoh dengan idealismsnya. Menolak tunduk. Setahun berselang, Pondok Ploso Kediri dan Pondok Gontor Ponorogo, 2 kiblat pesantren Indonesia dengan corak berbeda, berdiri. Melahirkan puluhan ribu alumni yang berkontribusi membangun negeri ini.
Cukup? Belum. Pemerintah kolonial malah bikin aturan baru, Ordonansi Sekolah Liar, 1932. Arahnya sudah jelas, pesantren, yang dianggap tidak tunduk pada kemauan kolonial, dan telah menjadi tempat persemaian bibit nasionalisme.
Tunduk? Tidak. Tetap kokoh.
Jangan lupa, dalam pelarian diburu dinas intelijen Londo, Sukarni, tokoh kiri yang men-tjoelik Sukarno-Hatta di Rengasdengklok; justru bersembunyi di sebuah pesantren di Kediri. Namanya Pondok Pesantren Plososemine. Saya nggak tahu apa ini sama dengan Ponpes al-Falah Ploso Mojo Kediri yang didirikan oleh KH. Jazuli itu. Ya Bung Karni, Ketua Indonesia Muda itu, ndelik pakai nama samaran, sekalian ikut nyantri. Biar nggak dianggap nggedabrus, silahkan cek di buku yang ditulis putrinya, Emalia Eragiliati Sukarni-Lukman, "Sukarni: Pahlawan Nasional 2014"). Setelah beberapa bulan, tokoh kelahiran Blitar ini lalu pindah tempat persembunyian di Banyuwangi. Oke, catat, bahkan tokoh kiri pun merasa aman bersembunyi di pesantren.
Tokoh kiri lain, Tan Malaka, dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya, 13 November 1945, sang shahibul Madilog itu singgah di Tebuireng. Dia sowan dan berdiskusi dengan ulama kharismatik KH. M. Hasyim Asy'ari sejak pukul 21.00 WIB hingga menjelang subuh.
Keesokan harinya, ketika mau menuju front pertempuran Surabaya, Tan Malaka disergap anak buah Bung Tomo di kelaskaran BPRI. Dia dianggap sebagai agen NICA. Kemudian Tan ditahan di kepolisian Mojokerto. Uniknya, tak berselang lama, Tan dibebaskan atas lobi petinggi Barisan Sabilillah, kelaskaran kiai yang komando tertingginya ada di tangan KH. Masjkoer, yang tentu saja secara hierarkis tunduk patuh di bawah KH. M. Hasyim Asy'ari. Catatan ini ditulis Harry A. Poeze, dalam "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia".Halaman berapa keterangan ini? Cek saja di jilid 1.
Oktober 1945, ada Resolusi Jihad NU, ribuan santri jalan kaki, sebagian naik kereta api, sisanya pakai truk rampasan Jepang. Bersenjata tradisional, sebagian pakai senjata hasil merampas senjata serdadu Dai Nippon yang sudah loyo. Semua tergerak berjihad, bahu membahu dengan eksponen pejuang lain.
Usai Surabaya jatuh ke tangan Sekutu Desember 1945, dan ada garis demarkasi yang sering dirusak mereka, silahkan cek data, tentara Londo Bule dibantu Londo Ireng, pengkhianat; banyak melintasi desa dan membakar pesantren. Bahkan dalam Agresi Militer I, Juli 1947 dan II, Desember 1948, beberapa kiai pengasuh pesantren gugur. KH. Abd Jalil Fadhil, salah satu pengasuh Ponpes Sidogiri Pasuruan; dan KH. Abdullah Sajjad, Pengasuh Ponpes Guluk Guluk Sumenep. Ini belum menghitung pesantren lain yang mengalami nasib tragis, dibubarkan atau dibakar.
Ini belum lagi nasib tragis beberapa pengasuh pesantren yang diculik kemudian di-bu nuh oleh laskar kiri pada 1948, atau provokasi, teror psikis dan serangan fisik dari Pemuda Rakjat menjelang Geger 1965.
Tapi, persis mitologi burung Phoenix yang hidup kembali dari abu jenazahnya, demikian pula pesantren. Digilas sejak era Amangkurat I, masih bisa bangkit, berdasarkan catatan dalam Serat Centhini. Usai Perang Jawa para kiai diburu, melarikan diri dan merintis pesantren baru di lokasi teranyar. Dengan merajang sistem terbaru: Intelektual, Spiritual dan Martial (bela diri/kanugaran).
Tak cukup tulisan enteng-entengan ini menyodorkan fakta kontribusi para kiai dan santri dalam mempertahan dan membangun negeri ini. Juga poros pesantren yang melahirkan para tokoh bangsa, sejak era founding fathers hingga kini.
Yang pasti, dengan pengalaman survival lebih dari setengah milenium, transformasi pondok pesantren persis burung Phoenix, bangkit dari residu abu jenazahnya, bukan Merak pongah peliharaan Hera, istri paduka Zeus. Lembaga pendidikan ini, meminjam istilah Tan Malaka: Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk.

KH Abdul Wahid Hasyim, pahlawan nasional, ayah Gus Dur; mengajak Anregurutta KH Abdurrahman Ambodalle (Sulawesi) bergabung ke NU. Tampak KH Ali Yafie (Pjs Rais Aam PBNU) masih muda saat itu, berdiri di belakang Kiai Wahid.