Tertarik dengan tulisan Prof. Akh. Muzakki, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya di ruang columm pada 8 Agustus 2025 berjudul “AWAS, ADA ROJAKI DI TENGAH ROJALI, ROHANA DAN ROHALUS!” Tulisan ini sangat menginspirasi. Esensi berupa motivasi dan inspirasi kepada kita semua selaku pelayan pendidikan sekaligus pelayan umat (qodimul ummah). Sebagai pelayan harus mampu memberikan pelayanan maksimal dan memuaskan melalui inovasi-inovasi yang kita hasilkan.
Padi aklhir tulisan beliau menyimpulkan, bahwa fenonema “Rojali”, “Rohana”, dan “Rohalus” tak boleh semakin diperparah dengan praktik “Rojaki.” Dunia pendidikan penting mengarusutamakan prinsip ini. Inspirasi Rojaki patut menjadi perhatian dunia pendidikan. Dasar dan inspirasinya jelas, yakni praktik produksi dan konsumsi di dunia bisnis-ekonomi dan layanan. Dan praktik ini perlu ditransformasikan ke dalam praktik produksi dan konsumsi di dunia pendidikan dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal dan memuaskan (satisfaction).
Membaca tulisan tersebut, teringat quotes yang sering saya sampaikan ketika menjadi narasumber dan/atau pembimbing pada setiap kegiatan. Ada tiga tingkatan atau derajat seorang pendidik atau pemimpin.
Pertama, derajat motivator. Pada derajat ini seorang pendidik (pemimpin) harus mampu memberikan dorongan dan semangat juang kepada publik (audience), tetapi dia belum tentu melalukan tindakan tersebut (good will). Jadi dalam kontek inovasi, motivator baru pada tahap mengajak (menyuruh) orang lain untuk berinovasi dan orang-orang pun melakukan (berinovasi) tetapi dia sendiri belum melakukannya. Ingat istilah makelar penumpang, maka ia akan berteriak-teriak untuk mengajak naik calon penumpang dengan alasan kendaraan akan segera berangkat. Ketika para penumpang naik kendaraan, dia sendiri malah turun. Pada struktur piramida, derajat motivator menjadi dasar piramida.
Kedua, fasilitator. Pada derajat ini pendidik (pemimpin) selain mampu memberikan pengaruh dengan seruannya (good will), dia juga ikut bertindak bersama-sama (action will). Jadi dalam derajat ini pendidik/pemimpin tidak hanya bisa memerintah/menyuruh tetapi juga ikut bersama-sama melakukan tindakan nyata (action will). Dalam konteks berinovasi, maka pendidik/pemimpin bersama-sama dengan anak buah untuk berinovasi dan berkolaborasi atas bawah serta memandang sekecil apa pun kontribusi yang diberikan oleh anak buah itu merupakan wujud sense of belonging dan harus tetap dihargai bukan diremehkan. Dalam konteks filosofi Jawa dikenal dengan istilah ing madya mangun karsa, bahwa pemimpin/pendidik harus berada (selalu hadir) di tengah-tengah mereka yang dipimpin/anak didiknya. Dan pada saat berada di tengah (di antara anak buah/murid-murid) tersebut ia harus mampu membangun semangat", membangkitkan inisiatif", memberi penguatan. Semboyan ini menekankan pentingnya peran seorang pemimpin atau pendidik untuk memberikan motivasi, inspirasi, dan menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan siswa atau orang-orang yang dipimpin.
Ketiga, inspirator. Pada derajat inspirator seorang pendidik/pemimpin akan melakukan tindakan/berinovasi (action will) duluan setelah dia berhasil (berpretasi) baru keberhasilan (prestasi) tersebut dia tunjukkan kepada publik (anak buah/teman sejawat) sehingga mereka (anak buah/teman sejawat) terinspirasi akan keberhasilan (prestasi) tersebut yang akhirnya akan melakukan hal yang sama. Pada konteks ini Rasulullah saw. adalah inspirator utama. Beliau bertindak duluan seperti memperbaiki akhlak duluan, sebelum memerintahkan dan mengajak umat untuk memperbaiki akhlak. Rasulullah saw. selalu memberikan contoh/teladan (utswah hasanah) sehingga menjadi panutan umat (laqad kāna lakum fī rasūlillāhi uswatun ḥasanatun).
Dalam konteks filosofi Jawa dikenal dengan istilah ing ngarsa asung tulada, bahwa menjadi pemimpin di depan memberi teladan". Semboyan ini menekankan pentingnya seorang pemimpin (pendidik), terutama dalam konteks pendidikan, untuk memberikan contoh perilaku yang baik dan menjadi panutan bagi orang lain. Dan/atau seorang pemimpin/seorang pendidik, harus mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi orang lain, terutama bagi mereka yang dipimpin atau dididiknya.
Ilustrasi sederhana dalam kehidupan sehari-hari sering kita menyuruh seorang anak buah (siswa/mahasiswa) melakukan sesuatu semisal memungut sampah dan mereka pun melakukan perintah kita, tetapi kita hanya menyuruh dan tidak melakukannya sendiri (motivator). Alangkah baiknya kita bersama-sama mereka yang kita suruh bersama-sama memungut sampah sehingga terlihat kebersamaan tanpa perbedaan (fasilitator).
Hal bagus ini akan lebih bagus lagi kita selalu memungut sampah yang berserakan untuk dipindahkan ke bak sampah. Sehingga perbuatan kita ini akan menginpirasi lingkungan (siswa/mahasiswa/pegawai yang lain) untuk ikut melakukan sebagaimana yang kita lakukan (inspirator). Sehingga di sini akan timbul kesadaran kolektif, dan mereka melakukan sesuatu itu tidak ada paksaan, tetapi lahir dari dasar hati karena mereka malu (ewuh pakewuh) melihat contoh yang diberikan oleh sang pemimpin/pendidik. Dan perbuatan itu bukan dilakukan saat dilihat pemimpin/pendidik (ABS), tetapi kapan pun dan dimana pun dilakukannya. Sehingga lahir suatu kebiasaan (habituasi) yang bersambung ke suatu budaya baik (good culture).
Dalam kontek pembelajaran berdampak, peran sebagai inspirator sangat diperlukan. Karya-karya nyata perlu dirayakan pada setiap kondisi bukan bermaksud ujub tetapi dalam rangka menginspirasi yang lain. Misal seorang guru olah raga, ketika mengajar/melatih Bola Volly materi passing bola ia bukan mengajari bagaimana passing bola, tetapi ia akan mempraktekkan passing bola yang benar. Guru Bahasa Indonesia bukan mengajari bagaimana membuat puisi/cerpen yang baik, tetapi ia membuat puisi/cerpen dan dicontoh oleh peserta didik. Apalagi jika cerpen/puisi atau karya tersebut menyabet juara/prestasi. Begitupun dengan guru kesenian, bukan mengajari bagaimana cara bernyanyi yang baik, tetapi dia bernyanyi yang baik dan ditirukan oleh peserta didik.
Artinya, dalam konteks pembelajaran berdampak guru olah raga harus bisa bermain sepak bola, bola volly dan cabang olah raga yang lain bukan sekedar teori tapi dia harus mampu mempraktekkannya. Guru Bahasa Indonesia harus mampu menghasilkan karya-karya seperti puisi, cerpen, prosa dan sejenisnya. Juga guru kesenian, dan lainnya. Intinya, mereka harus mampu berinovasi dan berprestasi yang selanjutnya menginspirasi peserta didik. Jangan sampai ketika kita bicara di depan kelas/forum tentang sesuai hal. Kemudian ada yang nyelethuk: AHHH, TEORI ...! Begitupun bagi pemimpin, ia harus mampu menunjukkan inovasi dan prestasinya untuk selanjutnya akan menginpirasi yang dipimpin. Jika tidak, maka inovasi tersebut: AHHH, TEORI ...!