TAHUN 1927, sempat terjadi perdebatan sengit di antara ulama, mufti, penghulu dan masyarakat Banjar tentang hukum ular puraca. Saat itu sedang ramai perdagangan kulit ular dan biawak. Menurut cerita, dalam satu tahun telah dikirimkan lebih dari 200.000 lembar kulit ular, terutama ular puraca. Dalam bahasa latin, menurut Prof. Dr. H.C. Delsman, ular puraca disebut Acrochordus Javanicus Hornat.
Ada yang mengatakan puraca itu haram, karena hidup di darat dan di air seperti halnya katak. Menguliti dan memperdagangkan kulit puraca pun haram, begitu menurut mereka. Pendapat yang lain mengatakan, puraca tidak haram, sebab tidak pernah melihatnya di daratan, ia hidup hanya di air. Ada lagi pendapat yang mengatakan tidak haramnya itu karena tidak berbisa. Dan memperdagangkannya pun boleh sebagaimana menjual harimau dan burung buas. Dari situ disimpulkan ada kekacauan antara hukum murni yang tertera dalam kitab-kitab fiqh dan pendapat rakyat tentang pengertian najis dan haram. Mereka masyarakat biasa tidak bisa membedakan antar keduanya. Perdebatan terus berjalan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1929, Pengadilan Agama Banjarmasin mengadakan rapat dengan beberapa ulama di Banjarmasin, Martapura, dan Hulu Sungai. Dalam pembukaan rapat, diinfokan bahwa rapat bermaksud mengakhiri perdebatan ular puraca yang selama beredar di Negeri Banjar. Di dalam rapat juga dibawa ular puraca dan belut, serta menunjukkan sifat-sifat keduanya, dan perbedaannya. Mengapa belut juga dibawa, sebab ada ulama yang mengartikan jirits atau jirri yang disebutkan dalam kitab Hayatul Hayawan adalah puraca, padahal bukan, jirri itu adalah belut, yaitu ikan yang hidup di air bentuknya menyerupai ular; sementara puraca memang betul-betul ular.
Seorang ulama Martapura, H. Abdurrahman, menyampaikan pendapatnya, puraca tidak boleh dijual karena najis. Tetapi kulitnya yang tidak disamak meskipun najis boleh diperjual-belikan, dengan cara naqlul yad. Ia mengutip Hasyiyah Bajuri.
Setelahnya, Syekh Mahmud Abdul Jawad, seorang ahli ilmu ketuhanan dari Madinah yang tiba di Banjarmasin untuk memimpin sekolah agama Islam dan dihormati masyarakat Banjar, mengekemukakan pendapatnya dalam rapat resmi ini. Ia tidak begitu mahir berbahasa daerah, akhirnya ia menulis pandangannya dalam sebuah surat yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa melayu pada forum itu.
Menurut Syekh Mahmud, semua hewan yang busuk, hewan yang tidak disembelih secara islami dan mati, adalah najis hukumnya. Menjual kulitnya yang tidak disamak haram hukumnya, sedang kulitnya sendiri merupakan bangkai yang haram diperjual-belikan. Dalam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW bersabda “Allah melarang menjual anggur, bangkai, babi, dan berhala”. Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lihatlah lemak maytah (bangkai), kapal-kapal diolesi dengan lemak itu, dengan lemak itu kulit diolesi dan manusia menggunakan lemak itu untuk lampu penerangan? Kemudian Nabi bersabda: “Tidak, itu haram”.
Selanjutnya, di forum itu didengar juga pendapat dari Haji Marwan, seorang alim dari Banjarmasin yang mengatakan menjual puraca itu halal, berdasarkan yang tercantum dalam kitab Ihya Ulumiddin, bahwa menjual kucing dan harimau itu halal. Menurutnya, puraca adalah hewan yang hidup di air (hayawanul bahri) dan halal dimakan. Seorang alim lain setuju dengan pendapat ini.
Kemudian ketua rapat meminta keterangan yang benar tentang tata cara hidup puraca. Ada empat orang yang mengaku telah mengamati cara hidup puraca dengan seksama. Mereka bersumpah bahwa puraca itu bisa hidup di darat dan di air. Ketua rapat akhirnya mendapat keterangan yang cukup. Para anggota yang rapat akhirnya bersepakat mengambil keputusan berdasarkan Quran dan Hadis. Hasilnya adalah haram hukumnya memakan puraca, dan haram menjual kulitnya yang tidak disamak. Semua dalil yang disampaikan ulama ditolak, kecuali yang disampaikan oleh Syekh Mahmud Abdul Jawad. Karena Pengadilan Agama memandang dalilnya kuat. Dan dalam Islam, bilamana terjadi silang pendapat, maka hendaknya dikembalikan kepada Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 59. Puraca ditetapkan hidup di dua alam, sehingga haram hukumnya sebagaimana yang disebutkan oleh kitab-kitab fiqh dan hadis.
Rupanya, putusan sebelumnya masih belum memberhentikan perselisihan. September 1930, Mufti Amuntai mengadakan rapat dengan para ulama daerah tersebut membicarakan masalah itu lagi. Rapat ini menyimpulkan bahwa memakan puraca dan memperjual belikannya adalah haram, tapi menangkapnya tidak haram. Dengan sengaja Mufti tidak melibatkan Rad Agama di Amuntai, karena pasti tidak setuju dengan hasil kesimpulan rapat. Mufti memandang, melarang penangkapan puraca akan merugikan rakyat yang punya usaha itu.
Februari 1931, beberapa orang dari Kampung Benua Anyar, Distrik Alabio, yang mendapat penghasilan dari penangkapan ular puraca, dipimpin oleh Haji Sulaiman mengajukan ketidakpuasan mereka secara tertulis kepada Mufti Amuntai. Mereka menunjukkan bahwa pertanian tidak lagi menjadi mata pencahariannya, sedang mereka membutuhkan penghasilan untuk menafkahi anak istri. Mereka minta supaya perselisihan hukum mengenai puraca diakhiri.
Kemudian Haji Sulaiman mengadakan pembicaaan dengan Mufti Amuntai, bahwa ada fatwa yang diterimanya dari Makkah, bahwa perdagangan puraca adalah halal. Menurut Mufti, fatwa yang diajukan itu dibuat di Kalimantan kemudian dikirim ke Makkah, dan ditandatangani oleh ulama berpengaruh disana. Haji Sulaiman tidak puas dengan jawaban Mufti, kemudian ia berangkat ke Jakarta untuk mengajukan keluhannya kepada Penasihat Urusan Pribumi. Akibatnya, pemerintah setempat mengadakan penelitian di Amuntai untuk menentukan keadaan yang sebenarnya. Tampaknya, ia ingin menonjolkan diri atau karena sebab lainnya, ingin melawan Majelis Ulama dan ingin memperuncing perkara. Begitu ia pindah ke Samarinda, persoalan puraca menjadi kendor.
Tahun 1932, Mufti Kandangan Mohammad Joenan, mempersoalkan perkara itu lagi, karena ia sering ditanya. Ia menerbitkan sebuah buku berjudul “Mas’alah Peratja” pada tahun 1931, ditulis dengan huruf Arab dan Latin, terbit di Banjarmasin. Disini ia menyatakan bahwa ada dua macam ular, pertama, ular yang diharamkan, yaitu ular daratan yang berbisa, dan tetap hidup di daratan; kedua, ular yang dihukumi halal, yaitu ular air yang tidak berbisa. Ia mengatakan, puraca adalah termasuk ular air.
Mufti Kandangan ini juga mendasarkan fatwanya dari keterangan orang yang punya usaha puraca. Katanya, mereka menangkap puraca itu dengan unjun (pancing), dengan memberikan umpat ikan yang diturunkan ke dasar air. Jika ada puraca, ia cepat-cepat menggigit pancing. Puraca tidak berbisa, ada orang yang digigit tapi tidak mengapa. Pada musim kemarau puraca dijumpai di lubang-lubang tanah dekat air, dan pada malam hari ia sibuk menangkap tikus. Ia bertelur seperti ikan, tidak lama keluar anak-anaknya dalam jumlah yang besar seperti anak ikan. Ia berenang dalam air, tidak seperti ular darat, sebab ular darat bertelir di dalam lubang tanah, menjaganya sampai menetas dan keluar anak-anaknya. Dengan melihat data-data tersebut, Mufti Kandangan menyamakan puraca dengan Jirri sebagaimana yang tersebut dalam kitab Hayatul Hayawan karya Kamaluddin Damiri. Menurut penulis sendiri, Nur Hidayatullah, jirri itu keliru jika disamakan dengan puraca; yang lebih tepat jirri diartikan dengan belut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Mukhtar Athorid Bogor.
Pendirian Mufti Kandangan itu bukan tanpa perlawanan. Pada tahun 1933, Haji Abdullah Shiddiq, seorang alim dari Wasah Ilir (Kandangan) membantah pendapatnya dalam sebuah tulisan dengan judul “Su-al Djawab Mas’alah Ma’asyiral Muslimin (rahimakumullah) dan Mas’alah Ular Puratja”, terbit di Banjarmasin. Ia katakan, puraca itu haram dimakan. Ia adalah ular, bisa dilihat dari bentuknya, panjangnya, warnanya, baunya, cara hidupnya, dan dari kenyataan bahwa semua orang mengatakannya adalah ular, bukan ikan. Ular itu, menurut kitab-kitab yang ditulis oleh ulama adalah haram, karena beracun. Jika ia dimakan, ada kemungkinan orang akan meninggal, jatuh sakit, mendapat penyakit kulit, jatuh pingsan, atau kehilangan akal. Bau busuk puraca merupakan salah satu tanda ia beracun.
Puraca juga diharamkan karena hidup di dua alam. Dalam percobaan pada musim kemarau, puraca tetap hidup selama dua atau tiga bulan di tanah kering asal ia bisa pergi mencari makan. Makanannya adalah ikan dan serangga melata di tanah. Inilah cara hidup puraca, inilah keterangan tukang pencari ikan. Dalil ketiga, puraca itu khabits, menjijikkan. Kemudian, dalam hadis juga disebutkan, apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka ia baik, dan yang dianggap buruk, maka ia buruk. Puraca salah satu binatang yang menjijikkan dan tidak dimakan oleh orang Islam. Haji Abdullah Shiddiq menolak disamakannya jirri dengan puraca. Jirri termasuk jenis ikan, bukan ular. Menjual belikan puraca juga haram, karena termasuk barang najis dan tidak bermanfaat.
Tulisan ini saya sarikan dari buku Fragmenta Islamica, Studien over het Islamisme in Netherlandsch-Indie karya Prof. Dr. Guillaume Frédéric Pijper, yang terbit di Leiden tahun 1934. Diterjemahkan oleh Tudjimah dengan judul Fragmenta Islamica, Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, diterbitkan UI-Pres tahun 1987.
Semarang, 22 Juli 2025
Penulis: Nur Hidayatullah