Ketika Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan kembali bersepakat melakukan skema burden sharing dengan realisasi Rp200 triliun untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, banyak pihak terkejut, khawatir, bahkan ada yang langsung mengaitkannya dengan ancaman inflasi. Namun, bagi saya, hal ini sama sekali tidak mengejutkan. Mengapa? Karena pada akhirnya, semua pihak memang butuh uang, termasuk pemerintah untuk menjalankan program Asta Cita. Tinggal kita tunggu hari esok: apakah langkah ini akan menjadi penyelamat atau justru beban jangka panjang bagi perekonomian nasional.
BI sendiri menjelaskan, dana hasil pembelian Surat Berharga Negara (SBN) ini digunakan untuk mendukung …
Fenomena Paylater: Membeli Masa Depan dengan Utang Hari Ini
Table of contents [Show]
Bayangan Hidup Digital
Bayangkan seorang karyawan muda. Setiap bulannya, gaji yang baru saja masuk ke rekening langsung habis, bahkan sebelum tanggal gajian berikut tiba. Anehnya, gaya hidupnya tetap prima: nongkrong di kafe estetik, rutin belanja fesyen kekinian, hingga memesan tiket liburan. Rahasianya ada di satu aplikasi di ponselnya: paylater. Dengan sekali klik, semua barang dan jasa bisa dinikmati tanpa menunggu gaji cair. Hidup seolah serba mudah—hingga tanggal jatuh tempo tiba dan tagihan menumpuk.
Fenomena ini sedang meluas di Indonesia. Layanan paylater (buy now pay later/BNPL) memungkinkan konsumen membeli barang sekarang dan membayar belakangan, umumnya dalam jangka 30 hari hingga 12 bulan. Platform besar seperti Shopee PayLater, GoPayLater, OVO PayLater, dan Traveloka PayLater bersaing ketat, disusul fintech khusus seperti Kredivo dan Akulaku.
Menurut survei DSInnovate 2025, sekitar 45% pengguna e-commerce di Indonesia pernah menggunakan paylater, jauh melampaui penetrasi kartu kredit yang stagnan di angka 6–7% dari populasi. Pertumbuhan ini menunjukkan perubahan besar dalam perilaku finansial masyarakat urban.
Mengapa Paylater Populer?
Ada empat alasan utama mengapa paylater diminati:
1. Mudah diakses – Tidak perlu slip gaji atau riwayat kredit panjang, cukup verifikasi KTP.
2. Cepat – Persetujuan dalam hitungan menit.
3. Fleksibel – Cicilan mulai 30 hari hingga 12 bulan.
4. Terintegrasi gaya hidup digital – Belanja online, pesan makanan, beli pulsa, bahkan liburan bisa dicicil.
Dengan karakteristik ini, paylater dianggap lebih relevan dibanding kartu kredit, terutama bagi generasi muda yang melek teknologi tetapi belum memiliki akses perbankan formal.
Beberapa temuan terkini menunjukkan:
• Pertumbuhan transaksi BNPL di Indonesia mencapai lebih dari Rp25 triliun pada 2024–2025, dengan proyeksi terus meningkat seiring digitalisasi belanja (sumber: Katadata Insight Center).
• OJK menegaskan bahwa riwayat cicilan paylater tercatat di SLIK, sehingga keterlambatan bayar dapat memengaruhi pengajuan KPR atau kredit di masa depan.
• BI mencatat tren kenaikan konsumsi rumah tangga melalui layanan digital, namun juga memperingatkan risiko “over-leverage” di kalangan generasi muda.
• Survei NielsenIQ 2025 menemukan Gen Z dan milenial mendominasi penggunaan paylater, dengan alasan utama “cashflow lebih ringan” meskipun banyak yang mengakui kerap membeli barang di luar kebutuhan.
Secara sosiologis, paylater adalah bentuk “utang gaya baru.” Dulu, orang berutang ke keluarga, rentenir, atau bank. Kini cukup dengan satu klik aplikasi. Di awal terasa ringan karena pembayaran ditunda, tapi saat jatuh tempo, beban psikologis dan finansial bisa menghantam. Bahkan muncul istilah “gaji numpang lewat” karena habis untuk membayar cicilan bulan sebelumnya.
Dari sisi perilaku konsumen, riset menunjukkan adanya pergeseran dari kebutuhan mendesak ke gaya hidup konsumtif. Awalnya digunakan untuk keperluan penting (obat, tiket mendesak), lama-lama berubah menjadi sarana memuaskan impulse buying: fesyen diskon, makanan viral, hingga gadget terbaru.
Risiko yang Mengintai
Terdapat tiga risiko utama:
1. Bunga dan biaya tersembunyi
Meskipun sering dipromosikan “tanpa bunga,” kenyataannya ada biaya layanan yang bisa mencapai 2–5% per bulan. Jika dihitung efektif tahunan (APR), bisa lebih tinggi dibanding kartu kredit.
2. Risiko gagal bayar dan catatan hitam kredit
OJK menegaskan bahwa keterlambatan pembayaran akan tercatat dalam SLIK. Artinya, anak muda yang gagal membayar cicilan Rp500 ribu bisa saja kesulitan mengajukan KPR ratusan juta di masa depan.
3. Beban psikologis dan sosial
Hutang yang menumpuk bisa menimbulkan kecemasan, rasa malu, hingga retaknya hubungan sosial. Tidak jarang, orang menghindari teman atau keluarga karena dikejar tagihan.
Perspektif Agama: Hutang Bukan Perkara Ringan
Dalam Islam, utang adalah hal serius. Riwayat hadis menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mau menyalatkan jenazah yang meninggalkan utang tanpa ada pelunas. Bahkan, Rasulullah menyebut utang bisa menahan seseorang di alam kubur. Hal ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab moral terkait utang.
Lebih jauh, riba—yang umumnya melekat dalam pinjaman berbunga—dilarang keras. Maka, bagi muslim, paylater yang mengandung bunga dan denda jelas masuk ranah bermasalah.
Islam menawarkan solusi:
1. Segera melunasi jika mampu.
2. Hidup sederhana, hindari boros.
3. Jika terlanjur, bertaubat dan berkomitmen lepas dari jeratan riba.
Doa Nabi SAW yang masyhur:
“Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazan, wa a’udzubika minal ‘ajzi wal kasal, wa a’udzubika minal jubni wal bukhli, wa a’udzubika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.”
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan, kemalasan, kebakhilan, dan tekanan utang serta paksaan orang lain). — HR Abu Dawud.
Solusi dan Jalan Tengah
Untuk menghadapi fenomena paylater, beberapa langkah strategis dapat dipertimbangkan:
1. Pendidikan literasi keuangan.
Survei OJK (2022–2025) menunjukkan literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49%. Rendahnya literasi menjadi pintu masuk perilaku konsumtif.
2. Regulasi yang lebih ketat.
Pemerintah dan OJK perlu memperketat regulasi biaya layanan, transparansi bunga, dan perlindungan konsumen.
3. Alternatif keuangan sehat.
• Skema cicilan tanpa bunga berbasis komunitas atau koperasi.
• Pembiayaan syariah yang lebih menenangkan karena bebas riba.
4. Manajemen pribadi.
• Buat anggaran bulanan dengan pos kebutuhan, tabungan, dan hiburan.
• Gunakan paylater hanya untuk kebutuhan darurat, bukan keinginan sesaat.
• Terapkan prinsip delay gratification—menunda konsumsi demi kestabilan finansial jangka panjang.
Refleksi Penutup
Fenomena paylater adalah potret masyarakat digital yang ingin hidup serba instan. Di satu sisi, ia memberikan akses keuangan inklusif bagi mereka yang tak punya kartu kredit. Di sisi lain, ia berpotensi menjerat dalam utang konsumtif yang panjang.
Pepatah lama tetap relevan: “Utang itu ringan di awal, berat di akhir.” Maka, bijaklah dalam mengelola paylater—jadikan ia alat bantu, bukan jerat hidup. Dan bagi kaum muslim, ingatlah bahwa utang, apalagi riba, bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga urusan akhirat.