Sampai saat ini, isu pernikahan disabilitas belum mendapatkan highlight dari otoritas kebijakan, ini dibuktikan dengan sulitnya kita mencari data terkait pernikahan disabilitas jika tidak langsung terjung ke lapangan. Begitu juga dalam masyarakat, masih ada diantara masyarakat kita yang memiliki stigma negatif terkait pernikahan disabilitas.
Dalam konteks pernikahan disabilitas, stigma negatif biasanya terkait dengan kafa’ah (seimbang antara suami-istri) seperti contoh individu disabilitas wicara/rungu/netra harus menikah dengan sesama disabilitas tersebut. Bisa juga terkait dengan pembagian hak dan tanggung jawab karena dianggap kemampuannya yang sangat terbatas sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan. Bahkan pandangan lebih ekstrim adalah penyandang disabilitas akan melahirkan keturunan disabilitas.
Stigma negatif pernikahan disabilitas mengakibatkan penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk mencari kebahagiaan, sehingga mereka memiliki kekhawatiran untuk melangsungkan pernikahan. Sebagaimana yang dalam artikel yang berjudul “Barriers To Marriage And Motherhood: The Experience Of Disable Women In Malaysia” bahwa terdapat hambatan pernikahan akibat stigma negatif masyarakat yang menyebabkan masalah psiko-emosional bagi penyandang disabilitas (Lihat Aizan Sofia Amin, dkk. “Barriers To Marriage And Motherhood: The Experience Of Disable Women In Malaysia”, The History of Family, Vol. 25, No. 2, 246-264).
Permasalahan sosial seperti ini menjadi pekerjaan rumah (PR) kita untuk segera berusaha mengikisnya sedikit demi sedikit. Stigma negatif pernikahan tentu akan melahirkan pandangan ableisme yang mengakibatkan penyandang disabilitas kesulitan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan mereka khususnya ketika membangun ikatan pernikahan. Lantas bagaimana upaya kita untuk mengikis stiga negatif pernikahan disabilitas?
Pernikahan sebagai Hak Privasi
Salah satu langkah awal yang kita lakukan adalah merubah paradigma, dari paradigma dari lama yaitu medical model menuju human right model. Paradigma medical model menitikberatkan bahwa penyandang disabilitas merupakan individu yang sakit dan memiliki kelainan sehingga untuk menjadi individu yang sempurna harus sembuh terlebih dahulu. Sedangkan paradigma human right model menitikberatkan bahwa penyandang disabilitas merupakan individu yang sempurna yang memiliki hak untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
Salah satu konsekuensi menumbuhkan paradigma human right model adalah menyadari penyandang disabilitas memiliki kesempatan dan kesetaraan sebagai manusia dan warga negara. Konsekuensi lainnya adalah menyadari hak-hak penyandang disabilitas diantara hak hidup, hak bebas dari stigma, hak privasi, hak keadilan dan perlindungan hukum, hak aksesibilitas, hak pelayanan publik, dll (Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas).
Pasal 8 UU Penyandang Disabilitas menyebutkan salah satu hak privasi penyandang disabilitas adalah membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Berdasarkan aturan tersebut, negara tidak melarang pernikahan disabiltas, melainkan berkomitmen mendukung partisipasi penuh pernikahan peyandang disabilitas. Hak privasi ini tentu menjadi landasan bahwa pernikahan penyandang disabilitas harus bebas dari stigma negatif.
Landasan dasar pernikahan sebagai hak privasi ini dikuatkan perspektif ushul fikih dan fikih terkait pernikahan disabilitas. Dalam perspektif usul fikih titik utamanya adalah terkait ahliyyah al-wujūb dan ahliyyah al-adā’ al-kāmilah. Selama penyandang disabilitas memenuhi ahliyyah al-wujūb dan ahliyyah al-adā’ al-kāmilah maka dianggap memiliki status pernikahan yang sah (Lihat Mohammad Fauzan Ni’ami, “Rekonstruksi Sistem Hukum Perkawinan Indonesia tentang Pelaksanaan Perkawinan Disabilitas Sensorik”, Disertasi, (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2025).
Sedangkan dalam konteks fikih, pernikahan disabilitas tidak menjadi masalah selama masing-masing pengantin memenenuhi rukun dan syarat pernikahan yaitu adanya suami, istri, adanya wali, dua saksi, dan ijab dan kabul. Terkait dengan ijab dan kabul, fikih memberikan opsi yang mengacu kepada pendapat tokoh mazhab Syafi’i yaitu bahwa ijab kabul disabilitas sensorik (rungu/wicara/netra) tetap dihukumi sah dan cukup dengan penggunaan bahasa isyarat yang mudah dipahami.
Melihat tiga perspektif diatas, maka tidak ada alasan untuk menolak pernikahan disabilitas selama memenuhi kriteria. Oleh karena itu menumbuhkan paradigma human right model merupakan salah langkah awal yang konket untuk menciptakan lingkungan yang inklusif disabilitas.
Partisipasi Aktif dan Dukungan KUA (Kantor Urusan Agama)
Selanjutnya adalah dibutuhkan partisipati aktif dari semua kalangan dan dukungan dari KUA untuk melangsungkan pernikahan disabilitas. Keterlibatan masyarakat dalam membantu pernikahan disabilitas sangat dibutuhkan sebagai upaya penerimaan keberadaan penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, partisipasi aktif masyarakat dalam pernikahan disabilitas merupakan bentuk penghormatan terhadap hak privasi.
Salah satu bentuk partisipasi aktif yang bisa kita lakukan adalah mendukung upaya perjodohan, membantu berlangsungnya acara ijab kabul dan resepsi pernikahan, atau segala macam kegiatan yang membantu mensukseskan pernikahan disabilitas. Upaya partisipasi ini dibutuhkan dengan tujuan mengikis stigma negatif dan membangun lingkungan yang inklusif.
Di sisi lain, dukungan KUA juga sangat mempengaruhi suksesnya pernikahan disabilitas. Sebagai unit pelaksanaan pemerintah yang memberikan layanan pernikahan, KUA harus menyediakan layanan yang aksesibel dan inklusif disabilitas seperti juru bahasa isyarat bagi disabilitas sensorik, akses fisik bagi disabilitas fisik. Tidak hanya itu, penekanan aksesibilitas seperti mengadakan simulasi layanan nikah ramah disabilitas, edukasi terkait pernikahan kepada komunitas penyandang disabilitas juga harus diadakan oleh KUA.
Kedua upaya diatas setidaknya menjadi ide dasar untuk membentuk masyarakat inklusif disabilitas, yaitu masyarakat yang memiliki pandangan positif terhadap pernikahan disabilitas dan mendukungnya. Karena bagaimanapun penyandang disabilitas memiliki hak privasi dan kesempatan untuk melangsungkan pernikahan.