Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat memunculkan komitmen impor produk energi AS senilai 15 miliar dolar AS. Meskipun ada imbalan berupa penurunan tarif produk Indonesia di pasar AS, kesepakatan ini dikhawatirkan membawa Indonesia pada situasi menang–kalah (zero-sum), di mana keuntungan satu pihak tidak sebanding dengan kerugian pihak lain.
Melihatnya dari kacamata ekonomi konvensional saja mungkin cukup, tetapi kita bisa belajar lebih banyak jika menengok prinsip ekonomi ala Nabi Muhammad ﷺ—yang berlandaskan keadilan, kemaslahatan, dan kemandirian umat.
Table of contents [Show]
- 1 1. Diplomasi Dagang dan Risiko Ketergantungan
- 2 2. Prinsip Perdagangan Ala Nabi Muhammad ﷺ
- 3 3. Zero-Sum Game vs Win-Win Solution
- 4 4. Kemandirian Ekonomi dalam Sirah Nabi
- 5 5. Prinsip Keadilan Harga (Fair Price)
- 6 6. Strategi Syariah untuk Perdagangan Energi
- 7 7. Penutup: Kembali ke Etos Dagang Rasulullah ﷺ
1. Diplomasi Dagang dan Risiko Ketergantungan
Negosiasi antara kedua negara melahirkan komitmen Indonesia untuk mengimpor energi dari AS, khususnya LPG dan minyak mentah. Padahal, data Kementerian ESDM menunjukkan produksi energi fosil Indonesia stagnan, bahkan menurun. Akibatnya, impor menjadi solusi cepat untuk menutup kebutuhan domestik.
Masalahnya, ketergantungan pada satu negara pemasok energi berpotensi menimbulkan tekanan politik dan fluktuasi harga yang merugikan. Risiko lain adalah retaliasi dari mitra dagang tradisional seperti Arab Saudi atau negara Teluk lain yang selama ini menjadi pemasok utama migas Indonesia.
2. Prinsip Perdagangan Ala Nabi Muhammad ﷺ
Sebelum diutus menjadi Rasul, Nabi Muhammad ﷺ adalah seorang pedagang ulung. Prinsip-prinsip dagang beliau menjadi acuan emas bagi ekonomi syariah:
• Tijarah ‘an taradhin — perdagangan yang saling menguntungkan dan didasari kerelaan dua pihak (QS. An-Nisa: 29).
• Larangan Gharar — menghindari ketidakpastian yang merugikan salah satu pihak.
• Diversifikasi Pasar — Nabi tidak bergantung pada satu pasar atau satu jalur perdagangan saja. Dalam perjalanan dagangnya, beliau menjalin relasi dengan berbagai wilayah: Syam, Yaman, bahkan Ethiopia.
• Maslahah ‘Ammah — orientasi perdagangan bukan hanya pada keuntungan pedagang, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Jika prinsip ini diterapkan, impor energi seharusnya tidak membuat Indonesia masuk ke jebakan zero-sum, melainkan menjadi bagian dari strategi win-win solution.
3. Zero-Sum Game vs Win-Win Solution
Konsep zero-sum game—di mana keuntungan satu pihak adalah kerugian pihak lain—tidak selaras dengan visi muamalah Rasulullah ﷺ. Dalam sejarahnya, beliau menghindari transaksi yang memberatkan salah satu pihak, bahkan jika secara jangka pendek menguntungkan beliau.
Sebaliknya, Nabi membangun reputasi kepercayaan (al-Amin) sehingga mitra dagang merasa aman bertransaksi. Prinsip ini relevan dalam perdagangan energi: kebijakan harus menciptakan hubungan yang berkelanjutan, adil, dan saling percaya antarnegara.
4. Kemandirian Ekonomi dalam Sirah Nabi
Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan pentingnya kemandirian umat. Salah satu pelajaran penting adalah ketika Madinah mulai mengelola pasar sendiri pasca hijrah. Sebelumnya, pasar dikuasai oleh pedagang Yahudi Bani Qainuqa. Nabi membangun pasar alternatif yang bebas riba, tanpa manipulasi harga, dan memberi peluang bagi seluruh kaum Muslim untuk berdagang.
Dalam konteks modern, ini berarti Indonesia perlu membangun kemandirian energi—bukan sekadar menjadi pasar impor. Mengembangkan energi terbarukan seperti panas bumi, bioenergi, dan tenaga surya bisa menjadi bentuk “pasar mandiri” ala Madinah: mengurangi ketergantungan dan menguatkan posisi tawar di perdagangan global.
5. Prinsip Keadilan Harga (Fair Price)
Dalam fiqh muamalah, harga yang adil bukan berarti murah, tetapi sepadan dengan kualitas, biaya, dan manfaatnya. Rasulullah ﷺ menolak campur tangan harga secara zalim, namun beliau juga menindak praktik penimbunan (ihtikar) yang membuat harga melambung.
Jika kebijakan impor energi hanya membuat harga domestik stabil sesaat tetapi berisiko mematikan produsen lokal atau menggerus devisa, maka dari perspektif syariah kebijakan itu harus dikaji ulang. Stabilitas harga yang sehat harus disertai keberlanjutan pasokan dan kemaslahatan jangka panjang.
6. Strategi Syariah untuk Perdagangan Energi
Mengambil pelajaran dari prinsip dagang Nabi, beberapa strategi bisa diterapkan dalam konteks impor energi:
1. Diversifikasi Pemasok – Menjalin kontrak dengan berbagai negara, bukan hanya satu, untuk menghindari monopoli pemasok.
2. Kemitraan Investasi – Mengundang negara pemasok untuk berinvestasi di infrastruktur energi domestik, bukan hanya menjual produknya.
3. Kontrak Syariah – Menggunakan akad seperti murabahah atau istisna dalam pembiayaan impor energi agar transparan dan bebas riba.
4. Penguatan Produksi Lokal – Mempercepat eksplorasi migas domestik dan pengembangan energi terbarukan, selaras dengan prinsip istishlah (mencapai kemaslahatan umum).
5. Keseimbangan Neraca Perdagangan – Memastikan impor energi diimbangi ekspor produk lain, sehingga tidak menambah defisit besar.
7. Penutup: Kembali ke Etos Dagang Rasulullah ﷺ
Kesepakatan impor energi dengan AS bisa menjadi peluang atau jebakan, tergantung bagaimana Indonesia mengelolanya. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa perdagangan harus membangun kemandirian, menjaga keadilan, dan menguntungkan semua pihak.
Dalam dunia yang saling terhubung ini, kita memang tidak bisa lepas dari impor. Namun, jika kita memegang teguh prinsip-prinsip ekonomi ala Nabi—saling ridha, adil, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan—maka perdagangan energi tidak akan menjadi zero-sum game, melainkan bagian dari strategi besar menuju kedaulatan ekonomi umat.